Minggu, 23 Maret 2014

CERPEN : Aku dalam Sangkar

AKU
dalam
SANGKAR
Oleh : Syarifah Nurrohmah
XII Akuntansi

                IPEH”, kawan-kawanku biasa memanggilku dengan sebutan itu. Nama lengkapku Syarifah Nurrohmah, aku lahir di Yogyakarta tepatnya pada tanggal 10 Maret tahun 1996. Kini aku menduduki bangku kelas IX SMP. Aku hanyalah anak dari seorang tukang las dan pedagang. Karena aku adalah anak pedagang, tak jarang aku membantu ibuku untuk menjaga barang dagangannya. Jika kalian berfikir bahwa ibuku adalah seorang pedagang besar, tentu kalian keliru. Ibuku hanya membuka warung kecil-kecilan. Yaaaah kalian mungkin tau, penghasilan warung kecil itu tidaklah seberapa.
            Sepulang sekolah biasanya aku selalu memulai kegiatanku diwarung kecil milik ibuku itu.  Dari pukul 13;00 s/d 17;00. Hal itu tentu tidaklah memberatkan bagiku, aku hanya perlu duduk manis menunggu pelanggan. Hal itu kulakukan setiap hari, setiap hari, setiap hari, dan setiiiaaap hariiiii. Melihat rutinitasku yang seperti itu, maka tak aneh jika orang-orang dan tetanggaku mempunyai anggapan bahwa aku merupakan seorang anak yang baik, penurut, dan mungkin cukup bisa dibilang KUPER.
            "KUPER" Bagaimana tidak..? Aku tak punya waktu untuk bermain dengan teman-teman sebayaku. Semua waktuku habis kupakai untuk membantu ibu. Terkadang jika egoku tengah berada dipuncak, aku selalu bergumam dalam hati.
             Hati yang hanya satu ini seolah mempunyai dua sisi yang berbeda, sisi baik dan sisi buruk. Aku biasa menyebut sisi baik itu dengan sebutan NUR dan NAR untuk sisi buruk.  Aku mendapatkan ilham untuk menamai kedua sisi yang berlawanan itu dari guru ngajiku Pak Uztad Sholeh Muchtar.
(Flash Back)
            Seperti biasa, seusai isya pak uztad memberikan ceramah-ceramah. Ntah mengapa dibagian ini aku selalu bersemangat. Telinga dan mataku sudah siap siaga untuk mendengar ceramah pak uztad Sholeh.
ceramah langsung kepembahasan inti.
Pak uztd : "Ada dua hal yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita, yaitu NURANI dan NALURI.             NURANI berasal dari kata Nur yang artinya Cahaya. Sedangkan NALURI berasal dari kata Nar  yang artinya api. cahaya biasa didentikan dengan malaikat dan kebaikan, sedangkan api diidentik dengan setan, nafsu, amarah,  dan keburukan. Coba kita lihat hewan, mereka hidup dengan naluri bukan dengan nurani"
Rima    : "Kenapa bisa gitu pak?"
Pak uzt : "itu karena nurani hanya dimiliki oleh kita manusia. Maka jika ada manusia yang hanya            mengikuti nalurinya dalam kata lain nafsunya maka orang tersebut tentu tidak ada   bedanya dengan hewan. Ingat, nurani itu selalu berkata baik dan menuntun kepada                kebaikan."
(Flash Back selesai)
            Dengan amarah yang seolah siap membeludak, aku bergumam dalam diam.. Bak bom waktu yang siap meledak, aaaaakh rasanya ingin berteriak dan memecahkan tangisan.
 NAR : “ Tuhaaaan.. kenapa? Kenapa HAL INI HARUS TERJADI PADA DIRIKU? Kenapa Tuhan?        Kenapaa? Lihatlah Tuhan, Engkaupun pasti melihatnya bukan? Teman-temanku dapat            dengan bebas bermaian kapan saja, dimana saja dan melakukan apa saja. Sedangkan     aku? Aku hanya dapat duduk diam di tempat ini, tempat yang mungkin sekarang sedang      aku benci. Diam, diam menunggu para calon pembeli membeli sesuatu yang mungkin          sedang mereka butuhkan. Tuhan, sebenarnya aku tak mau melakukan hal yang dapat                  menyita dan dan merenggut hari bahagiaku bersama kawan-kawan sebayaku. Tuhan,     adilkah hal ini untukku?”
NUR :   “ah Tuhan, mengapa aku sanggup untuk berfikiran seperti itu? Di sini hanya aku yang     dapat ibu andalkan untuk menjaga warungnya. Anak macam apa aku ini Tuhan? Baru             seperti ini saja, keluhku sudah menggunung. Maafkan aku tuhan. Maafkan aku.”
            Yaaa.. memang, mungkin jika aku tak berfikir dua kali, aku pasti takan sepasrah ini merelakan waktu remaja dan waktu bahagiaku. Entah mengapa jika aku melihat wajah ibu, aku selalu bertanya pada nuraniku sendiri.
NUR :   “ Sebenarnya apa yang dirimu fikirkan? Dirimu hanya memikirkan dirimu sendiri.            jika kau bandingkan dengan ibumu. Ia harus rela untuk bangun pagi jam 03;00 untuk        mencuci pakaian, membersihkan rumah, pergi kepasar ditambah lagi ibumu harus    menjaga warungnya hingga jam 13;00. Ayolah         sadar.. sadarr”
Walaupun begitu, NAR terus saja menyahut gumaman dari NUR
NAR :   “ ah Tuhan, sungguh menyedihkan diriku ini. Sungguh malang nasibku ini, ingin rasanya aku bermaian bebas tanpa terikat dengan suatu hal apapun termasuk tanggung  jawabku terhadap warung bodoh itu.”
            Terdengar kicauan burung Kenari milik tetangga sebelah, kicauan itu seolah menarikku keluar dari dalam warung. Ketika aku tengah berada diluar warung, pandanganku langsung kutujukan pada burung Kenari yang tengah berkicau itu. Iba rasanya melihat burung kenari tetanggaku yang berada dalam sangkar. Mungkin ia sangat menginginkan kebebasan sama seperti aku. Burung itu terus berkicau dan menatapku seolah-olah ia berkata.
 "jangan bersedih, akupun sama sepertimu. aku ingin bebas terbang jauh dan membelah langit biru yang cantik itu. Namun apaboleh buat, ini adalah takdirku, aku diciptakan untuk berada disini dalam sebuah sangkar milik tetanggamu. Seperti yang kau ketahui, pemilikku sangat menyayangiku dan bisa kau bayangkan jika aku pergi melarikan diri dari sini, betapa sedihnya pemilikku ini karena kehilanganku. Pemilikku membutuhkanku begitu juga dengan ibumu, ia sangat membutuhkanmu. Ayo tersenyumlah, tersenyumlah..! Hadapi, Jalani, Nikmati, dan syukuri takdirmu!". Rupanya Kenari cantik nan bawel itu sedikit menghiburku, ternyata aku tak sendiri disini.
Semua kawan-kawan disekolahku sudah mengetahui bahwa aku ini adalah tuan putri dari seorang pemilik warung. Tak jarang kudapatkan ejekan dan cemoohan dari kawan-kawanku meskipun begitu, aku selalu berusaha untuk menanggapi hal itu dengan gurauanku. Sebanarnya gurauan itu hanyalah siasatku agar mereka beranggapan bahwa aku menikmati hari-hariku di warung kecil itu.
Terkadang, ah rasanya bukan terkadang lagi. Seringkali aku merasa malu pada kawan-kawanku, bukan malu karena aku adalah anak dari seorang pedagang kecil, tetapi aku malu karena aku selalu terlambat untuk datang disetiap acara yang sebelumnya telah kawan-kawanku rencanakan. Meskipun dihari libur, tetap saja tanggung aku harus bertanggung jawab atas tugasku dirumah yakni menjaga warung milik ibu. jika libur sekolah, ku hanya mempunyai waktu sekitar 2 sampai 3 jam untuk bermain dengan kawan-kawanku namun sebelum pergi dengan  kawan-kawanku, aku harus membantu ibuku untuk menjaga warung kecilnya. Namun apa boleh buat, hanya itu kesempatan yang kumiliki untuk dapat bermain bersama kawan-kawanku. Aku tak bisa mengelak dan berpaling dari tanggungjawab ini. Ayahku tak mempunyai pekerjaan tetap, dia hanya seorang tukang las yang gajinyapun tak seberapa. Itupun jika ayahku mendapat proyek, jika tidak tentu ayahku hanya menunggu dirumah sampai ada pekerjaan berikutnya.
Pernah suatu ketika ayahku tak mendapatkan proyek las, dan hal itu tentu menyebabkan ibu dan ayahku sering bertengkar, titik permasalahannya tentu tak jauh dari uang. Sedih rasanya bila melihat dan mendengar mereka bertengkar. Aku selalu berpura-pura menutup mata dan telingaku. Aku selalu menjadikan sekolah sebagai pelarianku dari masalah ini karena disekolah aku bisa melupakan sejenak masalah yang sedang orangtuaku alami.
Aku cukup aktif dalam kegiatan disekolah. Aku mempunyai kawan-kawan yang selalu ada untukku. Dan beberapa guru cukup mengenalku. Berbicara tentang kawan-kawan, ada tujuh orang yang menjadi kawa baikku disekolah. Solidaritas menjadi pemersatu kami dalam bersahabat. Namun terkadang solidaritas itu sedikit membebaniku karena seringkali aku tak bisa memenuhi ajakan mereka.
Perbincangan antara aku dan kawan-kawanku sepulang sekolah.
Wida    : “temen-temen, sekarang seperti biasa kita ngumpul dirumah Hani okeh…!” :D
Nuru    : “oke, semuanya harus ikut lho !” :D
Herlina            : “oke deh, aku siap” ;)
Aku      : “hmmm… gimana ya… ?!” :l
Yuyun  : “ayo dong… pokoknya semua harus ikut !” :)
Wida    : “ayolah Peh, kamu kenapa sih tiap kali kita ada kumpul-kumpul kamu jarang banget     ikutan?” :@
Aku      : “maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku sibuk harus bantuin mamah dirumah.    Maaf ya…” :(
Wida    : “kamu mah so' sibuk banget. Masa tiap hari sibuk terus sampe ga ada waktu buat         kita?” :@
Herlina            : “iya Peh, kamu kenapa sih ga bisa sekali-kali luangin waktu buat kita?” :/
Hani     : “kenapa sih Peh sekarang kamu berubah ga kaya dulu lagi? Dulu kamu gak pernah nolak kalo kita ajak ngumpul.” :/
Aku      : “ya abis gimana lagi, aku mesti bantuin mamah, kasihan mamah aku ga ada yang         bantuin.” :(
Wida    : “masa sebentar aja ga bisa?” :/
Aku      : “iya serius, aku ga bisa. Maaf banget yaaaaa…” :(
Herlina            : “yaudah deh terserah kamu aja lah…” :@
            Perbincangan itu biasanya berlanjut dibelakangku. Mereka seakan tidak mau tau akan kesibukkanku dirumah. Yaaah maklumlah aku sudah tau betul bagaimana kebiasaan mereka. Dan akupun cukup mengerti dengan keluhan mereka mengenai perubahan sikapku yang biasanya seusai sekolah aku selalu mengikuti ajakan mereka untuk ikut berkumpul dirumah wida, herlina maupun Hani.
Wida    : “kenapa sih si Ipeh kenapa kaya yang ga mau temenan lagi ma kita?”
Yuyun  : “iya ya… bener banget, udah sering dia gak mau kita ajakin ngumpul lagi.”
Herlina            : “ya mungkin aja dia emang lagi sibuk?”
Wida    : “ah masa tiap hari sibuk terus?”
Hani     : “bener tuh, meski sibuk harusnya bisa dong sekali-kali mah ikut ngumpul ma kita-         kita.”
Yuyun  : “gimana kalau kita kasih pelajaran aja lah biar dia ga gitu terus…?!”
Wida    : “iya bener… bener… besok besok kita cuekin aja dia biar tau rasa”
Herlina            : “jangan ih, kan kasihan dia… “
Wida    : “biar aja. Biar dia bisa ngehargain kita-kita.”
Yuyun  : “iya, aku juga setuju.”
Herlina            : “yaudah lah aku ikut kalian aja.”
            Sedih rasanya bila aku diperlakukan seperti itu oleh mereka. Bukannya aku tak mau bermain dengan mereka. Tapi aku juga harus membantu ibuku dirumah. Bukan sekali dua kali mereka memperlakukanku seperti itu, aku harus menjelaskan panjang lebar agar mereka mau mengerti akan tanggungjawabku dirumah.
Walaupun dengan begitu banyaknya semua permasalahanku, aku tetap bersyukur. Aku tahu bahwa semua itulah yang akan mendewasakanku. Semua itulah yang akan mendidikku agar menjadi orang yang kuat dan tegar sehingga kelak aku bisa menjadi orang yang sukses. Aku juga bersyukur orangtuaku menyayangiku dan selalu memperhatikanku.
            Itulah sekelumit kisah tentang aku. Seorang remaja yang beranjak dewasa dengan semua rintangan, harapan, cita-cita dan angannya. 


***