AKU
dalam
SANGKAR
Oleh : Syarifah Nurrohmah
XII Akuntansi
“IPEH”, kawan-kawanku biasa memanggilku dengan sebutan itu. Nama
lengkapku Syarifah Nurrohmah, aku lahir di Yogyakarta tepatnya pada tanggal 10
Maret tahun 1996. Kini aku menduduki bangku kelas IX SMP. Aku hanyalah anak
dari seorang tukang las dan pedagang. Karena aku adalah anak pedagang, tak
jarang aku membantu ibuku untuk menjaga barang dagangannya. Jika kalian
berfikir bahwa ibuku adalah seorang pedagang besar, tentu kalian keliru. Ibuku
hanya membuka warung kecil-kecilan. Yaaaah kalian mungkin tau, penghasilan
warung kecil itu tidaklah seberapa.
Sepulang
sekolah biasanya aku selalu memulai kegiatanku diwarung kecil milik ibuku itu. Dari pukul 13;00 s/d 17;00. Hal
itu tentu tidaklah memberatkan bagiku, aku hanya perlu duduk manis menunggu
pelanggan. Hal itu kulakukan setiap hari, setiap hari, setiap hari, dan
setiiiaaap hariiiii. Melihat rutinitasku yang seperti itu, maka tak aneh jika
orang-orang dan tetanggaku mempunyai anggapan bahwa aku merupakan seorang anak
yang baik, penurut, dan mungkin cukup bisa dibilang KUPER.
"KUPER"
Bagaimana tidak..? Aku tak punya waktu untuk bermain dengan teman-teman
sebayaku. Semua waktuku habis kupakai untuk membantu ibu. Terkadang jika egoku
tengah berada dipuncak, aku selalu bergumam dalam hati.
Hati yang hanya satu ini seolah mempunyai dua
sisi yang berbeda, sisi baik dan sisi buruk. Aku biasa menyebut sisi baik itu
dengan sebutan NUR dan NAR untuk sisi buruk.
Aku mendapatkan ilham untuk menamai kedua sisi yang berlawanan itu dari
guru ngajiku Pak Uztad Sholeh Muchtar.
(Flash
Back)
Seperti
biasa, seusai isya pak uztad memberikan ceramah-ceramah. Ntah mengapa dibagian
ini aku selalu bersemangat. Telinga dan mataku sudah siap siaga untuk mendengar
ceramah pak uztad Sholeh.
ceramah langsung kepembahasan inti.
Pak uztd : "Ada dua hal yang tak
bisa dilepaskan dari kehidupan kita, yaitu NURANI dan NALURI. NURANI berasal dari kata Nur yang artinya Cahaya. Sedangkan
NALURI berasal dari kata Nar yang artinya api. cahaya biasa didentikan
dengan malaikat dan kebaikan, sedangkan api diidentik dengan setan, nafsu,
amarah, dan keburukan. Coba kita lihat
hewan, mereka hidup dengan naluri bukan dengan nurani"
Rima
: "Kenapa bisa gitu pak?"
Pak uzt :
"itu karena nurani hanya dimiliki oleh kita manusia. Maka jika ada manusia
yang hanya mengikuti nalurinya
dalam kata lain nafsunya maka orang tersebut tentu tidak ada bedanya dengan hewan. Ingat, nurani itu selalu
berkata baik dan menuntun kepada kebaikan."
(Flash
Back selesai)
Dengan
amarah yang seolah siap membeludak, aku bergumam dalam diam.. Bak bom waktu
yang siap meledak, aaaaakh rasanya ingin berteriak dan memecahkan tangisan.
NAR : “ Tuhaaaan.. kenapa? Kenapa HAL INI
HARUS TERJADI PADA DIRIKU? Kenapa Tuhan? Kenapaa?
Lihatlah Tuhan, Engkaupun pasti melihatnya bukan? Teman-temanku dapat dengan bebas bermaian kapan saja,
dimana saja dan melakukan apa saja. Sedangkan aku?
Aku hanya dapat duduk diam di tempat ini, tempat yang mungkin sekarang sedang aku benci. Diam, diam menunggu para calon
pembeli membeli sesuatu yang mungkin sedang
mereka butuhkan. Tuhan, sebenarnya aku tak mau melakukan hal yang dapat menyita
dan dan merenggut hari bahagiaku bersama kawan-kawan sebayaku. Tuhan, adilkah hal ini untukku?”
NUR : “ah
Tuhan, mengapa aku sanggup untuk berfikiran seperti itu? Di sini hanya aku yang
dapat ibu andalkan untuk menjaga
warungnya. Anak macam apa aku ini Tuhan? Baru seperti
ini saja, keluhku sudah menggunung. Maafkan aku tuhan. Maafkan aku.”
Yaaa..
memang, mungkin jika aku tak berfikir dua kali, aku pasti takan sepasrah ini
merelakan waktu remaja dan waktu bahagiaku. Entah mengapa jika aku melihat
wajah ibu, aku selalu bertanya pada nuraniku sendiri.
NUR : “
Sebenarnya apa yang dirimu fikirkan? Dirimu hanya memikirkan dirimu sendiri. jika
kau bandingkan dengan ibumu. Ia harus rela untuk bangun pagi jam 03;00 untuk mencuci pakaian, membersihkan rumah,
pergi kepasar ditambah lagi ibumu harus menjaga
warungnya hingga jam 13;00. Ayolah sadar..
sadarr”
Walaupun begitu, NAR terus saja menyahut
gumaman dari NUR
NAR : “ ah Tuhan, sungguh
menyedihkan diriku ini. Sungguh malang nasibku ini, ingin rasanya aku bermaian
bebas tanpa terikat dengan suatu hal apapun termasuk tanggung jawabku terhadap warung bodoh itu.”
Terdengar
kicauan burung Kenari milik tetangga sebelah, kicauan itu seolah menarikku
keluar dari dalam warung. Ketika aku tengah berada diluar warung, pandanganku
langsung kutujukan pada burung Kenari yang tengah berkicau itu. Iba rasanya
melihat burung kenari tetanggaku yang berada dalam sangkar. Mungkin ia sangat
menginginkan kebebasan sama seperti aku. Burung itu terus berkicau dan
menatapku seolah-olah ia berkata.
"jangan bersedih, akupun sama sepertimu.
aku ingin bebas terbang jauh dan membelah langit biru yang cantik itu. Namun
apaboleh buat, ini adalah takdirku, aku diciptakan untuk berada disini dalam
sebuah sangkar milik tetanggamu. Seperti yang kau ketahui, pemilikku sangat
menyayangiku dan bisa kau bayangkan jika aku pergi melarikan diri dari sini,
betapa sedihnya pemilikku ini karena kehilanganku. Pemilikku membutuhkanku
begitu juga dengan ibumu, ia sangat membutuhkanmu. Ayo tersenyumlah,
tersenyumlah..! Hadapi, Jalani, Nikmati, dan syukuri takdirmu!". Rupanya Kenari
cantik nan bawel itu sedikit menghiburku, ternyata aku tak sendiri disini.
Semua kawan-kawan
disekolahku sudah mengetahui bahwa aku ini adalah tuan putri dari seorang
pemilik warung. Tak jarang kudapatkan ejekan dan cemoohan dari kawan-kawanku
meskipun begitu, aku selalu berusaha untuk menanggapi hal itu dengan gurauanku.
Sebanarnya gurauan itu hanyalah siasatku agar mereka beranggapan bahwa aku
menikmati hari-hariku di warung kecil itu.
Terkadang, ah rasanya bukan terkadang lagi. Seringkali aku
merasa malu pada kawan-kawanku, bukan malu karena aku adalah anak dari seorang
pedagang kecil, tetapi aku malu karena aku selalu terlambat untuk datang
disetiap acara yang sebelumnya telah kawan-kawanku rencanakan. Meskipun dihari
libur, tetap saja tanggung aku harus bertanggung jawab atas tugasku dirumah
yakni menjaga warung milik ibu. jika libur sekolah, ku hanya mempunyai waktu
sekitar 2 sampai 3 jam untuk bermain dengan kawan-kawanku namun sebelum pergi
dengan kawan-kawanku, aku harus membantu
ibuku untuk menjaga warung kecilnya. Namun apa boleh buat, hanya itu kesempatan
yang kumiliki untuk dapat bermain bersama kawan-kawanku. Aku tak bisa mengelak
dan berpaling dari tanggungjawab ini. Ayahku tak mempunyai pekerjaan tetap, dia
hanya seorang tukang las yang gajinyapun tak seberapa. Itupun jika ayahku
mendapat proyek, jika tidak tentu ayahku hanya menunggu dirumah sampai ada
pekerjaan berikutnya.
Pernah
suatu ketika ayahku tak mendapatkan proyek las, dan hal itu tentu menyebabkan
ibu dan ayahku sering bertengkar, titik permasalahannya tentu tak jauh dari
uang. Sedih rasanya bila melihat dan mendengar mereka bertengkar. Aku selalu
berpura-pura menutup mata dan telingaku. Aku selalu menjadikan sekolah sebagai
pelarianku dari masalah ini karena disekolah aku bisa melupakan sejenak masalah
yang sedang orangtuaku alami.
Aku cukup
aktif dalam kegiatan disekolah. Aku mempunyai kawan-kawan yang selalu ada
untukku. Dan beberapa guru cukup mengenalku. Berbicara tentang kawan-kawan, ada
tujuh orang yang menjadi kawa baikku disekolah. Solidaritas menjadi pemersatu
kami dalam bersahabat. Namun terkadang solidaritas itu sedikit membebaniku
karena seringkali aku tak bisa memenuhi ajakan mereka.
Perbincangan
antara aku dan kawan-kawanku sepulang sekolah.
Wida :
“temen-temen, sekarang seperti biasa kita ngumpul dirumah Hani okeh…!” :D
Nuru :
“oke, semuanya harus ikut lho !” :D
Herlina :
“oke deh, aku siap” ;)
Aku :
“hmmm… gimana ya… ?!” :l
Yuyun :
“ayo dong… pokoknya semua harus ikut !” :)
Wida :
“ayolah Peh, kamu kenapa sih tiap kali kita ada kumpul-kumpul kamu jarang
banget ikutan?” :@
Aku :
“maaf banget, bukannya aku gak mau, tapi aku sibuk harus bantuin mamah dirumah.
Maaf ya…” :(
Wida :
“kamu mah so' sibuk banget. Masa tiap hari sibuk terus sampe ga ada waktu buat kita?” :@
Herlina :
“iya Peh, kamu kenapa sih ga bisa sekali-kali luangin waktu buat kita?” :/
Hani : “kenapa sih Peh
sekarang kamu berubah ga kaya dulu lagi? Dulu kamu gak pernah nolak kalo kita
ajak ngumpul.” :/
Aku :
“ya abis gimana lagi, aku mesti bantuin mamah, kasihan mamah aku ga ada yang bantuin.” :(
Wida :
“masa sebentar aja ga bisa?” :/
Aku :
“iya serius, aku ga bisa. Maaf banget yaaaaa…” :(
Herlina :
“yaudah deh terserah kamu aja lah…” :@
Perbincangan
itu biasanya berlanjut dibelakangku. Mereka seakan tidak mau tau akan
kesibukkanku dirumah. Yaaah maklumlah aku sudah tau betul bagaimana kebiasaan
mereka. Dan akupun cukup mengerti dengan keluhan mereka mengenai perubahan
sikapku yang biasanya seusai sekolah aku selalu mengikuti ajakan mereka untuk
ikut berkumpul dirumah wida, herlina maupun Hani.
Wida :
“kenapa sih si Ipeh kenapa kaya yang ga mau temenan lagi ma kita?”
Yuyun :
“iya ya… bener banget, udah sering dia gak mau kita ajakin ngumpul lagi.”
Herlina :
“ya mungkin aja dia emang lagi sibuk?”
Wida :
“ah masa tiap hari sibuk terus?”
Hani :
“bener tuh, meski sibuk harusnya bisa dong sekali-kali mah ikut ngumpul ma
kita- kita.”
Yuyun :
“gimana kalau kita kasih pelajaran aja lah biar dia ga gitu terus…?!”
Wida :
“iya bener… bener… besok besok kita cuekin aja dia biar tau rasa”
Herlina :
“jangan ih, kan kasihan dia… “
Wida :
“biar aja. Biar dia bisa ngehargain kita-kita.”
Yuyun :
“iya, aku juga setuju.”
Herlina :
“yaudah lah aku ikut kalian aja.”
Sedih
rasanya bila aku diperlakukan seperti itu oleh mereka. Bukannya aku tak mau
bermain dengan mereka. Tapi aku juga harus membantu ibuku dirumah. Bukan sekali
dua kali mereka memperlakukanku seperti itu, aku harus menjelaskan panjang
lebar agar mereka mau mengerti akan tanggungjawabku dirumah.
Walaupun
dengan begitu banyaknya semua permasalahanku, aku tetap bersyukur. Aku tahu
bahwa semua itulah yang akan mendewasakanku. Semua itulah yang akan mendidikku
agar menjadi orang yang kuat dan tegar sehingga kelak aku bisa menjadi orang
yang sukses. Aku juga bersyukur orangtuaku menyayangiku dan selalu
memperhatikanku.
Itulah
sekelumit kisah tentang aku. Seorang remaja yang beranjak dewasa dengan semua
rintangan, harapan, cita-cita dan angannya.
***